Surfing begitu identik dengan olahraga ala bule. Terlihat menyenangkan, tapi sebenarnya gimana sih rasanya surfing?
Gulungan ombak tinggi menjadi hal yang dicari oleh para surfer. Beruntungnya Bali, selain eksotis dengan budaya, pantai-pantainya juga surga para peselancar.
Sebagai orang Indonesia, saya sendiri penasaran bagaimana caranya mengendarai ombak di atas papan. Tinggal di daerah perkotaan, membuat surfing tampak cukup asing.
Dalam perjalanan Road Trip Java-Bali with IONIQ Electric Hyundai, tim Kami mampir ke Pantai Parerenan. Berkeliling sebentar, terlihat jajaran warung yang memberikan kursus surfing.
Pilihan jatuh kepada Barack Beach Bar, warung pertama yang ada di Pantai Batu Mejan. Di latih langsung oleh sang pemilik warung, Ajik, kursus surfing untuk wisatawan domestik hanya Rp 300 ribu.
Sebelum mulai, Ajik mengajak untuk pemanasan terlebih dahulu. Sehingga meminimalisir kram saat bermain surfing.
Surfing itu sebenarnya cocok untuk orang Indonesia. Karena kalau badannya kecil, semakin mudah untuk berdiri di papan selancar. Bule itu termasuk yang susah buat belajar,” cerita Ajik saat mulai pemanasan.
Setelah pemanasan Ajik meletakkan papan seluncur di pasir. Seraya berbaring menghadap papan, Ajik menjelaskan menggerakkan tangannya seperti sedang berenang menggunakan gaya bebas.
“Paddle ya, seperti ini,” ujarnya.
Usai menguasai paddle, Ajik menjelaskan langkah selanjutnya. Yaitu memegang papan seperti sedang push-up. Namun posisi ini tidak boleh begitu lama dilakukan di atas papan surfing.
“Begitu seimbang langsung berdiri di atas papan,” jelasnya.
Kaki kiri di depan, karena tali pengaman papan seluncur atau biasa disebut strap ankle diikatkan di kaki kanan. Saat jatuh ke air, peselancar akan aman karena dibantu mengapung dengan papan selancar.
Teori tak lengkap tanpa praktik. Saya mengekor di belakang Ajik menuju ke tengah pantai. Papan selancar ternyata cukup berat, tak heran jika para peselancar punya badan penuh otot.
Sambil melihat ombak, Ajik meminta Saya untuk naik ke papan selancar dan menghadap ke pantai. Menunggu ombak bukanlah hal mudah. Peselancar harus benar-benar jeli, ombak mana yang akan ditungganginya. Ingat, semakin besar, semakin baik.
Hari itu memang bukanlah keberuntungan, karena ombak terbilang jelek. Kebanyakan yang datang adalah bule yang mengajarkan anaknya belajar surfing.
Dari belakang Ajik menahan badan sembari memegang papan selancar. Rasanya, uang kursus sebesar Rp 350 ribu memang bukanlah apa-apa. Apa lagi sampai dua jam.
“Siap-siap paddle, naik!” teriak Ajik dari belakang.
Saya paddle papan selancar sebentar dan langsung naik menyeimbangkan diri di atas papan. Posisi push up yang tadi dilakukan seakan terlewat, karena berburu waktu dengan ombak.
Namanya juga baru pertama kali, jadi pasti jatuh di percobaan pertama. Saya tak mau menyerah dan terus mencoba sampai bisa. Sebagai pelatih, Ajik sangat suportif dan terus memberikan dukungan.
“Bayangkan, saya sudah kepala lima. Mengajar surfing bukanlah hal yang mudah,” ucapnya sambil tersengal saat sesi istirahat.
Menghabiskan sore sambil belajar surfing ternyata sangat menyenangkan. Kamu akan lupa waktu sampai senja sudah hadir di depan mata.
Selesai kursus, saya langsung sadar kalau kaki saya sedikit lecet tergores pasir pantai. Tapi hal itu justru menjadi pengingat betapa seriusnya Saya berlatih.
Bisa atau tidaknya berselancar tergantung dari kecerdasan orangnya. Semakin kecil tubuhnya, akan semakin gesit di atas papan. Keseimbangan pun semakin mudah di dapat,” rangkum Ajik sesaat menutup sesi.
n0q8hk